Minggu, 27 November 2011

Asal Nama Surabaya

Pada umumnya, masyarakat Kota Surabaya menyebut asal nama Surabaya adalah dari untaian kata Sura dan Baya atau lebih popular dengan sebutan Sura ing Baya, dibaca Suro ing Boyo. Paduan dua kata itu berarti “berani menghadapi tantangan”.
Namun berdasarkan filosofi kehidupan, warga Surabaya yang hidup di wilayah pantai menggambarkan dua perjuangan hidup antara darat dan laut. Di dua alam ini ada dua penguasa dengan habitat bertetangga yang berbeda, tetapi dapat bertemu di muara sungai. Dua makhluk itu adalah ikan Sura (Suro) dan Buaya (Boyo).
Perlambang kehidupan darat dan laut itu, sekaligus memberikan gambaran tentang warga Surabaya yang dapat menyatu, walaupun asalnya berbeda. Begitu pulalah warga Surabaya ini, mereka berasal dari berbagai suku, etnis dan ras, namun dapat hidup rukun dalam bermasyarakat.
Hasil penelitian menunjukkan, ejaan nama Surabaya awalnya adalah:Curabhaya. Tulisan ini di antaranya ditemukan pada prasasti Trowulan I dari tahun Caka 1280 atau 1358 M. Dalam prasasti itu tertulis Curabhaya termasuk kelompok desa di tepi sungai sebagai tempat penambangan yang dahulu sudah ada (nadira pradeca nguni kalanyang ajnahaji pracasti).
Nama Surabaya muncul dalam kakawin Negarakartagama tahun 1365 M. Pada bait 5 disebutkan: Yen ring Janggala lok sabha n rpati ring Surabhaya terus ke Buwun. Artinya: Jika di Jenggala ke laut, raja tinggal di Surabaya terus ke Buwun.
Cerita lain menyebutkan Surabaya semula berasal dari Junggaluh, Ujunggaluh atau Hujunggaluh. Ini, terungkap pada pemerintahan Adipati Jayengrono. Kerabat kerajaan Mojopahit ini diberi kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memerintah di Ujunggaluh. Di bawah pemerintahan Jayengrono, perkembangan pesat Ujunggaluh sebagai pelabuhan pantai terus manarik perhatian bangsa lain untuk berniaga di sini.
Suatu keanehan, ternyata sejarah Surabaya ini terputus-putus. Kalau sebelumnya Surabaya dianggap sebagai penjelmaan dari Hujunggaluh atau Ujunggaluh, namun belum satupun ahli sejarah menemukan sejak kapan nama Hujunggaluh itu “hilang” dan kemudian sejak kapan pula nama Surabaya, benar-benar mulai dipakai sebagai pengganti Hujunggaluh. Perkiraan sementara, hilangnya nama Hujunggaluh itu pada abad ke-14.

Mitos Surabaya


Ada lagi sumber lain yang mengungkap tentang asal-usul nama Surabaya. Buku kecil yang diterbitkan PN.Balai Pustaka tahun 1983, tulisan Soenarto Timoer, mengungkap cerita rakyat sebagai sumber penelitian sejarah. Bukunya berjudul: Menjelajahi Jaman Bahari Indonesia “Mitos Cura-Bhaya”. Dari tulisan sepanjang 61 halaman itu, Soenarto Timoer membuat kesimpulan, bahwa hari jadi Surabaya harus dicari antara tahun-tahun 1334, saat meletusnya Gunung Kelud dan tahun 1352 saat kunjungan Raja Hayam Wuruk ke Surabhaya (sesuai Nagarakrtagama, pupuh XVII:5).
Surabaya tidak bisa dilepaskan dari nama semula Hujunggaluh, karena perubahan nama menunjukkan adanya suatu motif. Motif dapat pula menunjukkan perkiraan kapan perubahan itu terjadi. Bahwa Hujunggaluh itu adalah Surabaya yang sekarang dapat diteliti dan ditelusuri berdasarkan makna namanya, lokasi dan arti kedudukannya dalam percaturan negara.
Ditilik dari makna, nama “Hujung” atau ujung tanah yang menjorok ke laut, yakni tanjung, dapat dipastikan wilayah ini berada di pantai. “Galuh” artinya emas. Dalam bahasa Jawa tukang emas dan pengrajin perak disebut: Wong anggaluh ataukemasan seperti tercantum dalam kamus Juynboll dan Mardiwarsito. Dalam purbacaraka galuh sama artinya dengan perak.
Hujunggaluh atau Hujung Emas, bisa disebut pula sebagai Hujung Perak, dan kemudian menjadi “Tanjung Perak” yang terletak di muara sungai atau Kali Emas (Kalimas). Nah, bisa jadi Tanjung Perak sekarang itulah yang dulu bernama Hujung galuh.
Dilihat dari lokasi Surabaya sekarang, berdasarkan prasasti Klagen, lokasi Hujunggaluh itu sebagai jalabuhan. Artinya, tempat bertemu para pedagang lokal dan antarpulau yang melakukan bongkarmuat barang dengan perahu. Diperkirakan, kampung Galuhan sekarang yang ada di Jalan Pawiyatan Surabaya, itulah Hujunggaluh, Di sini ada nama kampung Tembok. Konon tembok itulah yang membatasi laut dengan daratan.
Tinjauan berdasar arti kedudukannya, pada tahun 905, Hujunggaluh tempat kedudukan “parujar i sirikan” (prasati Raja Balitung, Randusari, Klaten). Parujaradalah wali daerah setingkat bupati. Bisa diartikan, bahwa Hujunggaluh pernah menjadi ibukota sebuah daerah setingkat kabupaten, satu eselon di bawah kedudukan “raka i sirikan”, pejabat agung kerajaan setelah raja.
Nah, sejak kapan Hujunggaluh berubah menjadi Surabaya? Mamang, perubahan nama tidak sama dengan penggantian tanggal lahir atau hari jadi. Namun, hingga sekarang belum ada satupun prasasti atau data otentik yang resmi menyebut perubahan nama Hujunggaluh menjadi Surabaya.
Mitos dan mistis sejak lama mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk di Pulau Jawa. Maka mitos Cura-bhaya yang dikaitkan dengan nama Surabaya sekarang ini tentunya dapat dihubungkan pula dengan mitologi dalam mencari hari jadi Surabaya. Perubahan nama dari Hujunggaluh menjadi Surabaya dapat direkonstruksi dari berbagai sudut pandang.
Bencana alam meletusnya gunung Kelud tahun 1334 membawa korban cukup banyak. Peristiwa itu mengakibatkan terjadinya perubahan di muara kali Brantas dengan anaknya Kalimas. Garis pantai Hujunggaluh bergeser ke utara. Timbul anggapan pikiran mistis yang mengingatkan kembali kepada pertarungan penguasa lautan, yakni ikan hiu yang bernama cura, melawan penguasa darat, buaya (bhaya). Dalam dunia mistis kemudian menjadi mitos, bahwa untuk menghentikan pertikaian antara penguasa laut dengan darat itu, maka digabungkan namanya dalam satu kataCura-bhaya atau sekarang Surabaya.
Mitos ikan dengan buaya ini sudah ada pada abad XII-XIII, sebagai pengaruh ajaran Budha Mahayana melalui cerita Kuntjarakarna. Reliefnya terpahat di dinding gua Selamangleng, Gunung Klotok, Kediri.
Bagaimanapun juga, mitos ikan dan buaya yang sekarang menjadi lambang Kota Surabaya, hanyalah merupakan sepercik versi lokal, tulis Soenarto Timoer. Jadi mitos cura-bhaya, hanya berlaku di Hujunggaluh. Cura-bhaya adalah nama baru pengganti Hujunggaluh sebagai wujud pujian kepada sang Cura mwang Bhaya yang menguasai lautan dan daratan.